Rabu, 25 Januari 2012

Memahami makna Aqidah

Sebenarnya sudah sejak lama penulis mendengar istilah aqidah. Maksud dan pengertian yang sampai saat ini melekat tentang pengertian aqidah adalah iman. Apakah ada yang salah? kurang lengkap pemahamannya? dan kurang begitu mengena?....pertanyaan-pertanyaan itu muncul belakangan ketika penulis sampai pada suatu posisi dimana diberi kesempatan oleh Allah untuk mendapatkan hidayah berupa ilmu tentang aqidah. Tepatnya ketika penulis mulai menginjakkan kaki dengan status mahasiswa baru beberapa tahun silam. 

Waktu itu yang ada dalam benak penulis ketika diminta menjelaskan apa itu aqidah, paling-paling berhenti pada satu penjelasan yaitu sebagaimana yang telah disinggung tadi "Iman" titik. (tak ada improvisasi atau alasan yang mampu menguatkan untuk menjelaskan secara rinci apa itu aqidah). Barangkali penulis perlu menyampaikan suatu cerita tentang perjalanan penulis memperoleh gambaran tentang makna aqidah yang lebih tepat.

Suatu ketika penulis diajak oleh salah seorang teman untuk menghadiri semacam pengajian di sekitar kampus. Masih ingat pada waktu itu, penulis diajak datang ke suatu ruangan di kampus. Serasa awam, tak ada teman. Dalam hati penulis ingin sekali marah-marah sama teman yang mengajak pengajian tadi. Penulis merasa terjebak dalam sebuah kondisi yang selama ini belum pernah penulis alami. Maklum, karena masih culun, tampang mahasiswa baru yang belum tahu utara selatan (ibaratnya). Tahan seminggu pisah dengan ortu saja sudah terhitung bagus untuk ukuran penulis. Ternyata acara pengajian itu semacam training keislaman. Awalnya, di tengah acara ingin sekali penulis keluar dan malas mendengarkan  ceramah dari pembicara yang pada waktu itu menyampaikan masalah aqidah. Pada titik dimana kebosanan itu mulai terakumulasi, sang pembicara menyampaikan satu pertanyaan yang membuat penulis terhenyak. "Untuk apa anda hidup?" pertanyaan pembicara dengan nada tinggi. Entah kenapa, pertanyaan itu membuat penulis menjadi terasa aneh ketika dilontarkan pada forum tersebut. Padahal sepintas tidak ada yang aneh dengan struktur kalimat, diksi atau barangkali lafaznya. Munculnya keanehan yang penulis rasakan adalah karena pikiran yang bergentayangan mengarungi lautan dunia abstrak, sulit didefinisikan. 

Dalam benak pikiran, penulis mencoba mengurai dan mendefini serta memaknai arti hidup. Seiring dengan semakin liarnya pikiran yang bergentayangan entah mengarah kemana tujuannya, pembicara dalam training tersebut menjelaskan secara rinci tentang apa yang penulis pikirkan. "Ko' sepertinya tau aja nih pembicara dengan apa yang aq pikirkan?" penulis dalam hati. Tak mau larut dalam liarnya pikiran yang tidak jelas dan merasa terbaca oleh pemateri, akhirnya penulis mencoba dengan sedikit memaksa untuk memperhatikan apa yang dijelaskan oleh pembicara training. Kira-kira penjelasannya seperti berikut (kebetulan penulis mendapatkan file yang disampaikan pada training tersebut. Terlepas dari kurang lebihnya penulis dalam menyampaikan, semoga dapat menjadi informasi bagi pembaca sekalian, semoga bermanfaat ^_^).

Aqidah, secara bahasa berasal dari kata 'Aqoda yang berarti membuat simpul, mengikat, transaksi, memperkuat, dan apa-apa yang diyakini dan menentramkan hati (Kamus al-Muhith, Fairus abadi, akar kata 'aqoda). Secara Istilah, aqidah diartikan sebagai pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan; apa-apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia; serta tentang hubungan kehidupan dunia dengan kehidupan sebelum dan sesudahnya.

Penjelasan yang mantab, lengkap dan memahamkan. Adanya penjelasan ini otomatis membuat penulis makin tambah wawasan dan memiliki cara pandang baru tentang makna aqidah yang selama ini terkesan kabur dan nggak jelas.

Dengan pemahaman menyeluruh yang termaktub dalam makna aqidah ini selanjutnya mengarahkan pada penghayatan eksistensi kehidupan penulis sebagai manusia dengan fakta ada dan terindera di detik ini. Dengan penghayatan itu muncul pertanyaan yang amat mendasar tentang realitas eksistensi penulis, yakni darimana saya berasal? untuk apa saya hidup ini? dan mau kemana?. Belakangan setelah dijelaskan oleh pembicara training, ketiga pertanyaan mendasar itu disebut 'uqdatul kubro. Tiga pertanyaan simpul kehidupan yang menjadi problematika hidup. Dikatakan simpul karena posisi ketiga pertanyaan tersebut menjadi titik utama atas semua masalah kehidupan yang dialami manusia di dunia ini. Begitulah pertanyaan aqidah, sebuah pertanyaan yang muncul dari hasil penghayatan secara mendalam tentang realitas kehidupan. Terlepas apakah individu yang bersangkutan berpaham islam ataukah yang lainnya. Pertanyaan tersebut sifatnya universal, artinya dapat berlaku bagi semua orang yang masih memiliki kemampuan normal untuk berpikir.

Pemahaman yang penulis miliki ternyata tidak sepenuhnya salah, karena pembicara training menyampaikan bahwa yang dimaksud dengan aqidah itu sama dengan iman. hanya saja yang dimaksud iman menurut pembicara yaitu pembenaran yang meyakinkan dan sesuai dengan fakta yang sebenarnya serta semua itu berdasar pada bukti (dalil). Inilah definisi iman yang waktu itu sulit penulis dapatkan untuk menjelaskan iman. Alhamdulillah, akhirnya penulis bisa memahami yang dimaksud dengan iman. Dapat kata kunci penting, "al imaan", "tashdiiquljaazm", Waqi' dan dalil.

Berkaitan dengan perkara yang diimani, maka akan ada dua realitas yaitu perkara yang dapat diindera dan perkara yang tidak dapat diindera. Perkara yang dapat diindera dapat diyakinkan dengan dalil aqliy, sedangkan perkara yang tidak dapat diindera diyakinkan dengan dalil naqliy. Dalil 'aqliy yaitu suatu pembenaran melalui proses berpikir, sedangkan dalil naqliy adalah suatu pembenaran berdasarkan wahyu baik al-Qur'an maupun hadits yang pasti.

Sebagaimana pemahaman sebelumnya bahwa iman di dalam Islam ada enam. Keenam aspek iman ini dapat dijelaskan dengan dalil.
  1. Iman kepada Allah, berkaitan dengan eksistensi Allah dapat dijelaskan berdasarkan dalil aqliy. Keberadaan Allah dapat diidentifikasi melalui tanda-tanda yang ditunjukkan di alam. Tentu dengan logika yang mampu menjelaskan demikian. Adanya fenomena alam yang amat teratur dan luar biasa dahsyat ini tidak mungkin ada dengan sendirinya. Semua itu ada karena diciptakan oleh Allah SWT. Fenomena pergantian siang dan malam, berbagai reaksi kehidupan yang ada pada manusia dll, cukup menjadi bukti bahwa Allah Sang Khaliq itu benar-benar nyata ada. Selanjutnya berhubungan dengan sifat Allah dapat dijelaskan melalui wahyu yang diturunkan melalui malaikat jibril kepada Rasulullah SAW dalam Al Qur'an.
  2. Iman kepada Malaikat, penjelasannya dengan dalil naqliy.
  3. Iman kepada Kitab-kitab Allah, Al Qur'an dibuktikan dengan dalil aqliy. Sedangkan Kitab-kitab yang lain dibuktikan dengan dalil naqliy.
  4. Iman kepada rasul-rasul Allah, Muhammad Rasulullah SAW dibuktikan dengan dalil 'Aqliy (ada yang meriwayatkan). sedangkan rasul-rasul yang lain dibuktikan dengan dalil naqliy.
  5. Iman kepada hari kiamat dibuktikan dengan dalil naqliy
  6. Qadla- Qadar dibuktikan dengan dalil aqliy
Pertanyaan berikutnya, jika dalil aqliy dapat dijelaskan secara logika, lalu bagaimana kita harus meyakini bahwa dalil naqliy itu juga benar?. Penjelasan tentang kebenaran dalil naqliy ini juga dapat dipahami dengan akal (secara aqliy), sehingga meskipun sifatnya naqliy hakekatnya juga dapat dijelaskan secara aqliy. Banyak informasi yang sifatnya naqliy tetapi dijelaskan di dalam Al Qur'an. Secara fakta, Al Qur'an dapat dibuktikan kebenarannya secara Aqliy. Dengan logika demikian maka tidak akan terbantahkan lagi bahwa dalil keimanan yang dibangun di dalam islam adalah sesuai dengan logika berpikir manusia (memuaskan akal).

Mengenai posisi Al Qur'an dan kebenarannya, maka ada tiga kemungkinan yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi sumber Al Qur'an.

Pertama, kemungkinan bahwa Al Qur'an berasal dari orang arab. Hal ini didasarkan oleh fakta bahwa Al Qur'an berbahasa Arab. Kemungkinan ini jelas salah dan tidak terbukti. Allah SWT di dalam Al Qur'an menantang segenap orang arab untuk membuat ayat yang serupa atau surat yang serupa dengan Al Qur'an (Al Baqarah:23, Yunus: 38, Hud : 13, Al Isra' 88). Pada kenyataannya tidak ada satu orang arab pun yang mampu membuatnya. Sehingga kemungkinan ini jelas bathil atau salah!.

Kedua, kemungkinan Al Qur'an adalah karangan Muhammad. Hal ini dikarenakan Al Qur'an dibawa Muhammad. Jelas kemungkinan ini juga salah. Muhammad juga orang arab (terkait dengan kemungkinan pertama, sehingga jelas tidak benar). Selain itu, gaya bahasa Al Qur'an dan hadits tidak sama meskipun keluar dari mulut orang yang sama. Oleh karena itu, kemungkinan kedua ini juga nyata SALAH !.

Ketiga, kemungkinan Al Qur'an berasal dari Allah SWT. Jika secara realitas hanya ada tiga kemungkinan tentang kebenaran sumber Al Qur'an, sedangkan kemungkinan pertama dan kedua jelas salah maka kemungkinan yang ketiga inilah yang benar. Al Qur'an berasal dari Allah SWT.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dipahami secara logis bahwa Al Qur'an pasti wahyu dari Allah SWT. Tak seorang pun yang mampu membuatnya. Keotentikan (keaslian) dijamin oleh Allah. Tentu saja isi kabar atau segala macam informasi yang ada di dalam Al Qur'an pastilah benar secara mutlak. Al Qur'an dapat digunakan untuk menjawab tiga pertanyaan mendasar ('uqdatul Qubro) sebagaimana yang diulas di depan.

Di dunia ini, ada tiga macam aqidah terkait dengan penyelesaian 'uqdatul kubro.

Pertama, Aqidah Komunis (juga dikenal dengan sosisalisme). Paham komunis menjawab bahwa manusia berasal dari materi dan muncul dengan sendirinya. Oleh karena itu, paham ini tidak mengakui akan adanya Tuhan (Sang Pencipta). Manusia tercipta karena adanya proses evolusi. Komunis memahami bahwa hidup ini untuk mencari kepuasan jasmani. Setelah kehidupan berakhir maka tidak ada kehidupan lagi karena kehidupan yang ada hanya kehidupan dunia sebagaimana yang kita saksikan saat ini. JELAS, pendapat ini tidak logis. Ditinjau secara saintific teori evolusi tidak dapat dibenarkan. Banyak kejanggalan terhadap ide keliru yang dilontarkan oleh Charles Darwin tersebut. Kehidupan yang begitu terautr ini tidak mungkin ada dengan sendirinya secara tiba-tiba. Fenomena alam semesta yang penuh perhitungan dengan tingkat kedetailan amat tinggi semacam ini sulit diterima ketika dikatakan muncul secara spontan. Ibarat bangunan gedung nan megah tentu ada arsiteknya. Tidak mungkin alam semesta, termasuk manusia yang memiliki jutaan reaksi dalam tubuhnya dan amat teratur itu ada dengan sendirinya!.

Kedua, lain halnya dengan komunis. Paham Kapitalis meyakini bahwa fenomena hidup, alam semesta dan manusia ini ada yang menciptakan. Namun demikian, kelompok kapitalis ini meyakini bahwa Tuhan Sang Pencipta hanya bertugas membuat saja. Tuhan dianggap tidak punya kuasa untuk mengatur kehidupan manusia. Setelah mati atau kehidupan berakhir, maka semua manusia akan masuk surga dan akan ada kehidupan yang tenang. Paham ini juga telah menunjukkan satu pemikiran yang sangat tidak tepat. Pemisahan urusan Tuhan dengan kehidupan atau lebih dikenal dengan sekulerisme telah menyalahi fitrah manusia yang penuh dengan keterbatasan. Padahal Allah SWT menciptakan manusia telah membekali dengan seperangkat petunjuk. Jika mata rantai ini diputus tentu timbul berbagai masalah. Sang Khaliq tentu lebih tahu tentang apa yang dibutuhkan oleh ciptaanNya. Selain itu, ketika manusia hidup ada yang taat dan ada yang ingkar kemudian mendapat imbalan yang sama berupa ketenangan di alam akhirat, betapa tidak adil sekali Tuhan. Padahal realitasnya Tuhan yakni Allah SWT memiliki sifat adil. Pengingkaran terhadap hari penghisaban atau perhitungan amal merupakan pemahaman yang tidak tepat dan jelas bathil!. Oleh karena itu, sangat keliru jika dikatakan bahwa kehidupan sebelum dan sesudah kehidupan ini tidak memiliki hubungan.

Ketiga, Aqidah Islam. Dalam pandangan Islam, kehidupan ini ada karena diciptakan oleh Allah SWT. Manusia hidup di dunia ini adalah dalam rangka untuk mengabdi kepada Allah (Q.S Ad Dzariat: 56). Adapun dalam proses mengabdi tersebut harus taat menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Setelah mati (kehidupan berakhir), manusia akan diadili di hari penghisaban. Jika timbangan amal baik lebih banyak maka akan mendapat imbalan surga, tetapi jika timbangan amal buruk yang banyak maka akan mendapat imbalan neraka.  Aqidah inilah yang paling rasional dan memuaskan akal serta menenteramkan jiwa.

Hidup ini adalah pilihan. Setiap manusia diberi kebebasan oleh Allah untuk memilih aqidahnya. Namun demikian, setiap pilihan tentu ada konsequensi yang ditanggung. Sebagai manusia yang berakal dan mampu berpikir secara jernih, maka pilihan yang kita putuskan hendaknya sesuai dengan fitrah kemanusiaan.

Penjelasan aqidah tentu tidak cukup dengan penjelasan di atas. Masih banyak yang perlu diperjelas, mengingat persoalan aqidah adalah masalah urgen dan mendasar dengan cakupan luas terkait dengan kehidupan. Oleh karena itu, ketika training selesai, penulis memutuskan untuk mengikuti training lanjutan yang pada waktu itu ditawarkan oleh pembicara kepada peserta dalam forum. Pada perjalanan berikutnya, InsyaAllah jika ada kesempatan akan penulis ulas kembali terkait dengan permasalahan aqidah ini.

Demikian, kisah perjalanan penulis dalam memahami makna aqidah yang singkat ini. Semoga bermanfaaat. Jika pembaca tertarik dan ingin berdiskusi bisa menghubungi penulis di email : soegie0611@gmail.com atau cukup memberikan komentar pada postingan ini. Terimakasih. Wassalam. (Gie~Wongndesorindusyariah, 2012)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar